Sharing: Tes IELTS Saya

IELTS.jpg

Salah satu persyaratan melanjutkan kuliah atau masuk dunia kerja adalah : Bahasa Inggris. Beruntung orang-orang yang sejak kecil memang dilatih atau sekedar terlatih menggunakan Bahasa Inggris, misal, anak yang tumbuh dilingkungan keluarga yang memang sangat memahami urgensi menggunakan Bahasa Inggris dimasa yang akan datang, maka di rumah biasanya si anak akan dibiasakan meskipun sekedar bilang No, Yes, I do, I don’t know, dan bentuk komunikasi sederhana yang lainnya. Setidaknya, pembiasaan seperti ini akan melekat apalagi jika memang dimulai sejak dini.

Tetapi, saya bukan orang yang tumbuh di keluarga yang seperti itu. Ketika teman-teman SD saya berbondong-bondong ikut les Bahasa Inggris 2 kali tiap pekan, saya masih asyik mancing di sawah, nangkep belut, kabur gegara liat ular, atau sekedar main mencari jejak tiap malam (petak umpet level dewa). Menariknya, ketika saya mengajukan proposal agar diizinkan ikut les Bahasa Inggris, orang tua saya menolak. Dan Kakak laki-laki saya dengan hebatnya mengusulkan untuk beli Play Station saja, nanti nya saya akan belajar Bahasa Inggris dengan sendirinya. Alhasil, PS1 dibelikan dan sampai hari ini saya belum pernah ikut atau duduk di kursi les khusus Bahasa Inggris. XD

Menyesal? Enggak. Lha saya dapat PS1 kok. Haghaghag. Tapi mulai agak mikir waktu semangat S2 muncul pas awal kuliah S1.

Kenapa? Persyaratan masuk S2 dan beasiswa biasanya mensyaratkan ada sertifikat kemampuan Bahasa Inggris resmi dari TOEFL, IELTS, atau jenis ujian yang lain. Dengan nilai minimal (biasanya) TOEFL IBT 90, TOEFL ITP 550, sdan IELTS 6.5 dengan nilai tiap tipe uji tidak kurang dari 6.0. mulai deh cenat cenut. Akhirnya saat sudah bekerja saya sempat meniatkan sekian persen gaji untuk ikut les Bahasa inggris, yang, bagaimanapun juga, tetap tidak berhasil saya ikuti, padahal saya sudah datang ke 2 tempat les buat cari informasi. XD Continue reading “Sharing: Tes IELTS Saya”